Morpheus—Sang Dewa Mimpi—menyelinap ke dalam mimpi Raja Agamemnon. Ia menampakkan diri selaku delegasi Zeus dan memerintahkan penguasa Mycenae itu untuk secepatnya mempersenjatai pasukannya dan melaksanakan serangan besar-besaran ke Troya. Raja Agamemnon yang sejak lama menyimpan ambisi menaklukkan benteng Troya begitu yakin bahwa mimpinya yaitu petunjuk yang dikirimkan oleh para tuhan. Padahal, Morpheus sedang mengirimkan mimpi artifisial sebagaimana ditugaskan oleh Zeus demi membantu pemimpin pasukan Mirmidon meraih kejayaannya—Achilles. Serangan itu berakhir memalukan bagi Agamemnon.
Kisah masyhur di atas—yang dinukil dari Iliad, karya Homer—menggambarkan bagaimana masyarakat Yunani Kuno mempercayai mimpi selaku realitas yang mengandung kebenaran. Mimpi bagi mereka yaitu pengalaman supranatural yang memperlihatkan petunjuk, pengetahuan, mengandung citra ilahiah atau nubuwah, serta simbolisasi tertentu yang terkait dengan realitas di jagat wadag. Selain itu, mimpi juga dianggap sebagai medium komunikasi antara insan dengan yang kuasa, roh, atau hantu dari dunia lain.
Kepercayaan kepada ‘dunia lain’ beserta penghuni-penghuninya yang ganjil tidak cuma milik peradaban Yunani Kuno. Merle Calvin Ricklefs, seorang sejarawan terkemuka yang banyak meneliti sejarah dan budaya Jawa serta peradaban Asia Tenggara dan Austronesia pada umumnya, pernah menulis beberapa buku tentang dunia hantu di kawasan Nusantara. Ricklefs membagi penghuni dunia lelembut ke dalam tiga klasifikasi, yakni Penunggu, Arwah Leluhur, dan Pelindung.
‘Alaming lelembut’ atau dunia hantu yaitu salah satu doktrin paling purba dalam khazanah budaya Austronesia. Meskipun kerap dianggap selaku bab dari budaya esoteris, keyakinan terhadap dunia mistik pernah menjadi sumber wawasan bagi masyarakat Nusantara dalam upaya memahami dunia. Kini, kajian ihwal dunia tak kasat mata ini semakin berkembang dalam tradisi akademik lintas disiplin.
Untung Saryanto, seorang pengajar di SoD (School of Design) BINUS University, secara konsisten mengeksplorasi dunia supranatural melalui karya-karya visual. Memulai karier di bidang desain grafis sejak 1989 dan bergabung dengan BINUS University pada 2010, Untung menemukan ketertarikannya pada dunia gaib lewat buku, film, folklore, serta pengalaman sehari-hari. Baginya, dunia tak kasat mata yaitu sumber imajinasi yang tak terbatas. Menggambar bukan sekadar kemampuan, tetapi juga medium untuk menyelami misteri dan merangkai narasi mistis dalam verbal visual yang spontan sekaligus intens.
Menggambar menjadi cara bagi Untung untuk kembali dan menghayati akar budaya Jawanya yang kuat. Hal ini tampak pada beberapa subjek gambar yang sarat dengan unsur mitologi dan simbolisme khas Jawa. Tema keluarga dan unit komunitas mikro juga acap muncul dalam karyanya, mencerminkan kekerabatan erat antar individu, leluhur, dan lingkungan spiritual di sekitarnya. Untung menyinari bagaimana nilai-nilai kontemporer berkelindan dengan doktrin tradisional kepada dunia tak kasat mata, membuat lapisan makna yang kompleks dalam setiap karyanya.
Meskipun mengusung tema The Ethereal Occults yang terkesan seram, rilisan VirtuArts #6 kali ini justru menghadirkan banyak nuansa satir dan komedi. Hal ini sekaligus menjadi ciri khas Untung selaku seniman yang tak pernah puas dengan pencapaian visualnya dan senantiasa berusaha menyematkan pesan yang kuat di balik setiap karyanya. Dunia mistik yang digambarkan Untung, kadang kala memberikan pesan paling aktual perihal bagaimana manusia memaknai ketakutan, dogma, dan absurditas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan yang reflektif, karya dosen senior ini mengajak kita melihat segi lain dari hal-hal yang sering dianggap misterius atau bahkan tabu.
Hantu dan semestanya—dengan segala misterinya—ialah produk budaya. Hantu-hantu yang saat ini ‘terkenal’ di Indonesia—terutama di Jawa—tidak timbul dari ruang hampa yang ahistoris. Suster Ngesot, misalnya, pasti ‘lahir’ sesudah profesi juru medis tersebut dikenal oleh penduduk luas. Pocong, baru menghantui masyarakat Jawa sesudah mereka mengenal kain kafan selaku pembungkus mayit. Kuntilanak—mungkin—diketahui belakangan sehabis maraknya penggunaan jubah atau gaun panjang oleh perempuan. Hantu bisa lahir, ber-evolusi bahkan mengalami ‘kepunahan’—semuanya terjadi di alam pikiran kolektif suatu masyarakat. Beberapa nama hantu—mirip Gandarwo/ Gendruwo—masih kita temukan catatannya dalam Kakawin Sena yang ditulis antara periode ke-16 sampai ke-18, di abad surut Kerajaan Majapahit. Namun, lebih banyak ‘spesies’ hantu dari kala tersebut kini namanya sudah tidak kita kenali lagi.
Kakawin Sena sendiri merupakan bagian dari naskah Merapi-Merbabu, yang ditulis menggunakan Aksara Buda atau Aksara Gunung—transisi antara Aksara Jawa Kuno (Kawi) dan Aksara Jawa Baru (Carakan). Berikut salah satu cuplikan Kakawin Sena di Pupuh 3:12 yang menampung ‘keanekaragaman hayati’ hantu di abad Jawa Kuno:
“…jejengklek kalawan gandarwo mangure bowong ana ring ayun janggitan humangseh dulur hilu-hilu rare bajang angawe popoting komara rerengkiknya tumut kamandanya hajelih bugarnya jejegang laweyan hanantang kalewungnya hajiglong…”
Terjemah:
“…Jejengklek bareng Gandarwo mengurai (rambutnya), Bowong (macan) ada di depan, Janggitan tidak bergerak, dibarengi oleh Hilu-hilu (hantu burung) dan Anak Bajang (hantu bayi) yang melambai-lambai, Popoting Komara (hantu tali pusar), Rerengkik mengikuti kamandanya, berserakan, Laweyan (badan tanpa kepala) menantang, rongga tubuhnya berlubang…”
Secara keseluruhan, karya Untung Saryanto bukan sekadar eksplorasi visual, namun bentuk dokumentasi budaya yang menangkap bagaimana penduduk memaknai dunia mistik di banyak sekali kurun. Lewat pendekatan artistiknya, hantu tidak hanya menjadi subjek mistis, tetapi juga refleksi sosial yang terus berkembang. Dengan memadukan mitologi, sejarah, dan kepekaan dalam merekam fenomena sosial yang berkaitan, Untung mendatangkan lanskap supranatural sebagai arsip visual yang mencatat perubahan kolektif dalam cara kita melihat dunia. The Ethereal Occults menjadi refleksi penduduk kekinian yang memiliki ketakutannya sendiri, melahirkan dan menghadapi hantunya sendiri.
Jakarta, 25 Februari 2025
Ardiyansah
BINUS Digital